Rabu, 23 Januari 2013

SUMPIT

Sumpit /senjata Khas suku Dayak

sumpit

Berbicara tentang sumpit berarti berbicara tentang Dayak atau biasa dikenal dengan Borneo
Sumpit adalah senjata ampuh yang bisa dihandalkan oleh suku dayak,selain sebai alat berburu
binatang di hutan juga sebagai alat perang Suku dayak. Sumpit secara tradisional kegunaannya untuk berburu terutama binatang yang ada di atas pohon, selain untuk berperang.

SUKU Dayak mengenal berbagai macam senjata yang biasa digunakan untuk berburu dan berperang pada zaman dahulu, atau untuk kegunaan sehari-hari semisal di ladang. Misalnya sumpitan, mandau, tombak, perisai (telawang),

Ranggung adalah seorang dayak kalimantan yang berasal dari Dayak Lebang"kampung Mendang"kecamatan kayan hilir''kabupatensintang mengungkapkan, senjata sumpit merupakan senjata kebanggaan dan menjadi senjata utama bagi masyarakat Dayak.

"Sebenarnya senjata utama dan andalan suku Dayak itu bukan mandau," Ujarnya. "Kalau mandau hanya untuk memenggal kepala orang yang sudah mati, Dan hanya digunakan untuk membunuh musuh dengan jarak dekat,yang terjadi zaman dulu. Racun pada sumpitan ini sampai sekarang tidak ada penawarnya, entah kalau obat-obatan modern."

Senjata sumpit ini berupa buluh dari batang kayu bulat sepanjang 1,9 meter hingga 2,1 meter. Sumpit harus terbuat dari kayu keras seperti kayu ulin, tampang, lanan, berangbungkan, rasak, atau kayu plepek dan belian kusut.

Diameter sumpit dua hingga tiga sentimeter yang berlubang di bagian tengahnya, dengan diameter lubang sekitar satu sentimeter. Lubang ini untuk memasukkan anak sumpit.

"Secara tradisional, kalau ingin tepat sasaran dan kuat bernapas, panjang sumpit harus sesuai dengan tinggi badan orang yang menggunakannya serta sudah terlatih dan kemungkinan hanya org dayak yang bisa menggunakannya," tutur salah satu org dayak lebang kepada saya,

Pembuatan sumpit dikerjakan dengan sangat cermat dan teliti oleh warga Dayak. Hampir semua subetnis Dayak menggunakan sumpit, namun yang sangat terkenal lihai membuat sumpit, antara lain subetnis Dayak Lebang,Ot Danom, Punan, Pasir, Ot, Siang dan Dayak Bahau. Hal ini berkaitan dengan jenis-jenis kayu terbaik untuk sumpit yang ada di sekitar permukiman mereka.

Cara pembuatan sumpit, kayu keras semisal ulin yang masih berbentuk balok berukuran 10 x 10 sentimeter dengan panjang yang telah ditentukan digantung secara vertikal di suatu tempat. Kemudian bagian bawah balok itu dibor ke arah atas.

"Tujuannya agar sisa pengeboran itu langsung jatuh ke tanah. Jadi, tidak perlu repot membersihkan lubang pemboran, dan biasanya dengan cara ini hasil pengeboran lebih lurus," papar Dipa yang juda dari Suku Dayak leba.

Setelah selesai dibor, balok yang sudah berlubang itu diraut (dibubut) sehingga berbentuk bulat seperti pipa. Setelah itu baru ditempeli asesoris.

Bagian pangkal sumpit biasanya lebih besar dibanding dengan moncong sumpit. Di bagian ujung moncong dipasangi mata tombak terbuat dari besi atau batu gunung yang disebut sangkoh. Kegunaan sangkoh ini untuk cadangan senjata saat binatang buruan yang sudah terluka dan belum mati ternyata berbalik menyerang penyumpit yang belum sempat mengisi kembali anak sumpit.

Sangkoh diikatkan dengan erat di ujung sumpit dengan menggunakan tali rotan. Selain sangkoh yang panjangnya sekitar 15 sentimeter, di ujung sumpit terdapat besi berukuran sekitar dua sentimeter yang digunakan sebagai alat bantu pembidik. Kedua alat ini ditempatkan saling berseberangan di ujung moncong sumpit.

Bagian yang paling penting dari sumpitan, selain batang sumpit, yaitu pelurunya atau anak sumpitnya. Anak sumpit, disebut juga damek. Ujung anak sumpit runcing, sedang bagian pangkal belakang ada semacam gabus dari sejenis dahan pohon agar anak sumpit melayang saat menuju sasaran.

Untuk keperluan lomba, damek tidak diberi racun seperti anak sumpit untuk berburu. Anak sumpit untuk berperang atau berburu biasanya diberikan keratan sepanjang sekitar tiga sentimeter di ujung anak sumpit dengan maksud ujung tersebut patah dan tertinggal dalam tubuh buruan hingga racun lebih cepat bekerja.

Untuk menaruh anak sumpit tersedia wadah khusus yang disebut renjung. Terbuat dari satu ruas bambu yang diukir dan diikat rotan serta diberi tutup, sebuah renjung bisa menyimpan sekitar 50-100 anak sumpit.

Racun damak/anak panah adalah Racun yang sangat mematikan ini merupakan campuran dari berbagi getah pohon, ramuan tumbuhan serta bisa binatang seperti ular dan kalajengking.

Getah pohon yang digunakan untuk racun di antaranya getah kayu ipuh, kayu siren, atau upas, dicampur dengan getah kayu uwi ara, atau getah toba. Bisa binatang, seperti ular, akan menguatkan efek racun ini.

Menurut Ranggung dan Dipa , hingga sekarang ini belum ada penawar untuk racun anak sumpit yang sudah masuk ke pembuluh darah. "Di lingkungan masyarakat Dayak memang belum dikenal adanya penawar racun sumpit," tuturnya.

Anehnya, lanjut 2 bersaudara itu, meskipun sangat beracun, daging binatang buruan aman untuk dimakan. "Berburu kan dagingnya untuk dimakan. Akan tetapi, meskipun racun sumpit sangat kuat, kita aman saja makan daging binatang buruan tersebut, bahkan kalau kita menjilat racun itu sebenarnya tidak apa-apa," ujar Ranggung dan Dipa.

Meski demikian, kalau racun Anak panah itu langsung masuk ke darah, manusia atau semua binatang akan segera mati. "Kecuali ayam. Kami juga tidak tahu kenapa ayam tidak mati oleh racun tersebut," ujarnya.

yosep, demikian ujar bapakKu Ranggung, jika akan digunakan untuk berburu atau berperang, harus dijauhkan dari unsur bau-bauan "kota", misalnya bau minyak wangi atau parfum, sabun, sampo, dan sejenisnya. Juga termasuk bau bawang.

Pasalnya, begitu kena bau-bauan tersebut, keampuhan racun anak sumpit ini akan berkurang, atau bahkan hilang. Warga Dayak Lebang menyebut racun yang sudah hilang kekuatannya akibat bau-bauan "aneh" itu mekab.

SELAIN beracun, kelebihan yang dimiliki senjata ini, dibandingkan dengan senjata khas Dayak lainnya, yakni kemampuan mengenai sasaran dalam jarak yang relatif jauh.

Jarak efektif bisa mencapai puluhan meter, tergantung kemampuan si penyumpit. Selain itu, senjata ini juga tidak menimbulkan bunyi. Unsur senyap ini sangat penting saat mengincar musuh maupun binatang buruan yang sedang lengah.

Ada teknik-teknik tertentu dan diperlukan latihan agar seseorang bisa mahir dan pintar berburu menggunakan sumpit. Cara mengambil napas dan posisi badan juga harus diperhatikan karna bukan org sembarangan yang bisa menggunakan sumpit tersebut ujar Dipa dan Ranggung.

Menurut Ranggung dan Dipa, ada sejumlah posisi menyumpit, namun yang lazim dengan berdiri atau dengan jongkok. Cara mengatur pernapasan juga harus diperhatikan agar sasaran bisa terkena dengan tepat.

Cara memegang sumpit yang benar, kedua telapak tangan harus menghadap ke atas. Dua telapak tangan itu sebaiknya berdekatan atau bersentuhan.

Selain kegunaan berburu dan berperang, kegunaan lain sumpit adalah untuk upacara adat atau sebagai mas kawin dalam pernikahan adat Dayak. "Saat bertunangan, senjata sumpit ini juga bisa digunakan sebagai alat perlengkapan perkawinan, Kedahsyatan sumpit juga bisa menunjukan siapa yang bisa menyembuhkan penyakit seseorang Ujar Dipa dan ranggung.

Suku-suku yang tidak memiliki ulu atas namanya tidak akan mampu melawan Mandau-mandau,tombak maupun beracunnya sumpit yang menjadi senjata andalan suku dayak.
Oleh karena itu bersukurlah jika saudaraku yang merasa orang dayak,karena kita mempunyai budaya dan tradisi yang sangat tinggi nilainya sehingga membuat orang bahkan dunia tercengang dan ingin mengetahuinya lebih mendalam.
Hidup Dayak dan Bersatu Dayak untuk selamanya.
Salam hangat Dari  Dayak LEBANG," jgn lupa komentar"heheeheheheh

TEMPOYAK


TAMPOYAK
Saya tertarik untuk menulis artikel ini karena saya ingin makanan khas Suku Dayak atau tradisional ini bisa dikenal oleh masyarakat umum dan saya juga berharap bisa menambah khasanah kebudayaan indonesia lewat makanan tradisional Dayak kalimantan ini. Makanan Tradisional bernama Tempoyak, berasal dari durian matang yang diasinkan dan diolah dengan sangat sederhana serta memerlukan bahan yang tidak sulit didapatkan dimana saja.
Makanan tradisional ini sudah ada sejak dahulu kala, kapan makanan ini pertama kali dibuat tidak ada sumber yang menjelaskan yang saya tau makanan ini berasal dari Suku Dayak kalimantan. Makanan ini biasanya dimakan sebagai lalapan yang dicampur dengan nasi, selain itu juga bisa digoreng atau untuk membuat masakan asaman baik ikan, daging atau dedaunan.
Bahan-bahan yang diperlukan adalah :

1. Durian Matang sebagai bahan pokok
2. Garam untuk mengasinkan
Cara pengolahan :

1. Kupas beberapa durian atau sesuai kebutuhan,
2. Pisahkan daging durian dengan biji,
3. Tabur dengan garam secukupnya atau sesuai selera,
4. simpan ditempat tertutup, misalnya galon, ember atau tempat lain yang bisa ditutup rapat,
5. biarkan selama 2 sampai 3 hari.
6. Tempoyak siap dikonsumsi
NB: untuk penyimpanan dalam Waktu lama simpan ditempat yang tertutup rapat dan jauhkan dari sinar matahari agar rasa tetap tejaga.
Oke salamat mencoba dan selamat menikmati. Mau durian murah cari aja dikebun orang-orang di Kalimantan Khususnya Dayak Lebang tapi dengan syarat ijin dengan yang punya kebun.
Nah bagai mana pendapat anda tentang Makanan Khas Kalimantan ini…….

Selasa, 22 Januari 2013

MITOS GADIS DAYAK (BORNEO)


Sebelum menginjakan kaki di Bumi Borneo, aku begitu sering dicekoki pandangan stereotip tentang suku Dayak yang katanya ganas dan beringas "TUTUR TEMANKU". Begitu juga pandangan tentang gadis-gadisnya yang angker untuk disentuh. Sekali berani macam-macam, katanya bakalan tak bisa pulang, gelap, bingung dan yang lebih sadis lagi "gagang pacul/(alat kelamait laki)" bisa hilang .

Namun setelah bergaul dengan mereka, bayangan kejam dan biadab itu tak terlihat sama sekali. Yang aku temukan justru masyarakat yang ramah tamah dan cenderung pemalu. Mereka juga bisa menerima pendatang dengan dengan baik-baik dan tidak suka mendahului berbuat ulah dengan dalih yang punya kawasan. Seperti mereka yang memilih mengalah ketika orang luar berbondong-bondong membalak hutan atau menggali kandungan tambang di tanah mereka. Mereka juga tak meributkan ketika sebagian warganya berpindah ke keyakinan yang dibawa pendatang.

Aku pikir semua pandangan negatif itu hanyalah satu bagian dari budaya "sawang sinawang" sebagian dari kita. Apalagi pasca kerusuhan etnis Sampit dulu, dengan mudah kita menggeneralisir pandangan tentang suku Dayak yang sadis. Buatku itu bukanlah simbol kebiadaban suku Dayak. Dimana-mana orang kalo diusik pasti melawan. Dan itu bukan semata-mata penyerangan melainkan pembelaan diri yang wajar dilakukan setiap orang. Bahkan KUHP pasal 49 saja menyebutkan bahwa noodweer alias pembelaan darurat itu tidak bisa dipidanakan walau melakukan hal yang termasuk tindak pidana. Tentu saja dengan memenuhi syarat dan ketentuan berlaku.

Kenyataan di lapangan, di Jawa yang katanya lebih beradab, penyerangan fisik justru lebih sering terjadi hanya karena hal yang sepele. Bahkan orang yang mengaku beragama pun tak merasa berdosa menyerang orang lain hanya karena berbeda baju. Lihat saja penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah yang marak terjadi. Ini kontras sekali dengan mitos suku Dayak tentang panglima Burung. Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Panglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah -agama manapun- dengan merusak atau membunuh di dalamnya. Kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh.

Aku juga sempat bertanya tentang mitos gadis Dayak yang bisa bikin linglung laki-laki yang menggodanya" tutur temanku". Beliau cuma tertawa dan mengatakan itu bukan soal gadisnya, melainkan laki-lakinya. Dikatakan bakalan tidak bisa pulang ke Jawa memang ada benarnya. Bagaimana mungkin laki-laki bisa betah di kampung halamannya bila hatinya sudah tertambat di Kalimantan. Pengertian jalanan mendadak gelap kalo akan pulang juga bisa diartikan sama. Yang gelap hatinya yang enggan pulang, bukan matanya. Lalu tentang kemaluan yang hilang itu bisa saja terjadi di suku lain dengan istilah santet. Secara logika, orang tua siapa yang tidak sakit hati bila anak gadisnya dijahatin orang. Masalah dia menggunakan jalan kasar atau halus untuk balas dendam, itu kembali ke diri masing-masing orang. Dan itu terjadi di semua suku, bukan hanya milik suku Dayak saja.

Tentang gadis Dayak cantik atau tidak, itu relatif tergantung masing-masing orang yang melihatnya. Masalah bila ngobrol suaranya keras, itu karena faktor budaya, bukan orangnya. Sama kasusnya dengan orang Banyumas yang berteriak ngapak saat berbisik romantis. Identik juga dengan kasus sebaliknya pada orang Jogja atau Solo yang bersuara lembut saat misuh-misuh. Jadi tidak ada masalah dengan gadis Dayak atau bukan Bukan karna saya juga org Dayak tapi fakta. Selama kita tidak berbuat ulah, tak ada mitos kekejaman  yang perlu ditakutkan,yang Jelas anda sopan merekapun segan, itulah kunci utamanya.

Salam Dayak,,,,,,,,,

Senin, 21 Januari 2013

PANGLIMA BURUNG DAYAK

Hidup itu pembelajaran. Itulah kalimat yang saya peroleh saat saya mendapatkan sebuah ilmu dan pengalaman baru. Dan apapun yang kita pelajari, pastikan menjadikan kita selangkah lebih maju. Apa yang kita lakukan jika kita sudah selangkah lebih Maju...........!!!! "apakah kiat Akan berbagi atau hanya untuk anda sendiri",itu adalah pilihan anda,tapi pribadi saya hidup itu saling bebagi kawan.Apalah artinya sebua kehidupan bila kita selalu tertutup...........



Panglima burung,
Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima tertinggi masyarakat Dayak, Panglima Burung, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung.
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.

Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.

Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.

Jika dalam peperangan melawan musuh Karna amarah,Semua angota atau orang-orang yang mengikuti perang Harus makan daging Lawanya,Terutama MADURA, yang pernah membuat dayak emosi dan marah dengah ulah mereka itulh dayak.Jika suda begitu jagan tanya lagi daging lawan sudah dimakan dan yakinlh lawan akan dihabisi. Dayak adalah sehati dan sejiwa,jika dari mereka ada yang meningal diserang lawan maka harus diganti dengan nyawa 1/100.

Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak yang pemberani dan sejati